Kamis, 07 Januari 2010

Mobil Baru Para Menteri KIB Jilid II

Beberapa waktu yang lalu, pemerintah melakukan pengadaan mobil baru bagi para menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, serta pejabat tinggi lainnya, seperti pimpinan MPR, DPR, dan DPD. Mobil Toyota Crown Royal Saloon dipilih untuk menggantikan mobil lama, Toyota Camry. Penggantian dilakukan karena mobil Camry sudah berusia lima tahun, dirasa tidak efektif, dan mulai sering masuk bengkel. Diharapkan dengan adanya mobil baru, dapat meningkatkan kinerja para pejabat tinggi ini. Semoga saja.

Harga sebuah mobil Toyota Crown Royal Saloon diperkirakan mencapai Rp1,3 Milyar. Sebuah angka yang sangat besar bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pembelian 150 mobil dinas baru saya rasa terlalu menghamburkan uang negara. Walaupun beberapa pihak menyatakan “tidak apa – apa, toh Negara memiliki uang”, tetap saja tindakan tersebut kurang pantas. Mengingat masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan akibat ketidakstabilan ekonomi Indonesia. Hutang luar negeri Indonesia saja jumlahnya masih begitu banyak, mencapai Rp234 Trilyun! Pemerintah terkesan tidak bijak dan tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat kecil.

Di balik kemewahan yang diterima para pejabat negri ini, begitu banyak masyarakat masih sulit mendapatkan biaya untuk makan, sekolah, dan berobat. Tadi sore, saya baru saja menyaksikan berita di salah satu stasiun TV tentang seorang bocah pengidap HIV yang tidak mampu membayar biaya Rumah Sakit sebesar Rp6 Juta. Begitu berbanding terbalik dengan kemewahan para petinggi negri. Ironis.

Pemberian mobil dinas baru bagi para menteri menunjukkan bahwa pemerintahan SBY tidak peka. Masih ingat komitmen SBY untuk mengawal program penghematan nasional? Dengan APBD yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi digunakan untuk membeli mobil, yang saya rasa tidak terlalu penting, terlihat bahwa SBY tidak mampu untuk memenuhi komitmennya. Sebenarnya para menteri juga tidak perlu menggunakan mobil yang begitu mewah. Toh tidak menurunkan derajat juga dengan menggunakan mobil yang lama. Namun apa boleh dikata, penggantian mobil baru para menteri sudah dilaksanakan. Walaupun ‘mengganjal’, bahwa uang sebanyak itu bisa dialokasikan ke hal – hal lain yang lebih bermanfaat (pendidikan & kesehatan misalnya), saya hanya bisa berharap di kedepannya pemerintah bisa lebih memikirkan mana yang lebih utama bagi rakyat dan lebih peka dalam penentuan anggaran belanja negara.

Sumber foto : http://nasional.vivanews.com/news/(Agus Dwi Darmawan/VIVAnews)

Sabtu, 02 Januari 2010

Semarang Kota Pantai (?)



“…Semarang kota pantai…
…Semarang indah permai…”

Kalimat tersebut merupakan lirik pembuka lagu “Gambang Semarang” yang sering saya nyanyikan bersama teman – teman Paduan Suara Mahasiswa Undip. Setiap kali menyanyikan bait tersebut, saya merasa ada sesuatu yang ganjil. Kota Semarang memang merupakan kota yang berada di pesisir laut Jawa. Namun, ketika seseorang bertanya: “Semarang pantainya dimana ya?” Saya sedikit kerepotan menjawab pertanyaan tersebut. Memang ada beberapa pantai di Semarang, salah satunya adalah pantai Marina dan Maron. Lokasinya pun tidak jauh dari rumah saya. Tetapi apakah pantai tersebut layak dijadikan rujukan bagi wisatawan, saya kurang yakin.

Ketika saya berkunjung ke pantai Marina beberapa waktu yang lalu, saya mendapati perubahan – perubahan yang terjadi di pantai tersebut. Antara jalan dan pasir (pantai) kini terhalang tembok batu yang bertujuan untuk menghindari erosi air laut, karena keberadaan rumah – rumah mewah di lokasi tersebut. Selain itu, di satu sisi pantai, tidak lagi terdapat pasir, yang ada hanyalah batu – batu besar licin yang menurut saya cukup berbahaya jika tidak berhati – hati. Fasilitas yang ada di dalamnya pun tidak menunjang. Hanya ada deretan warung –warung kecil yang tidak sedap dipandang mata. Pantai Marina sebagai salah satu objek wisata masyarakat seharusnya lebih berbenah agar Semarang yang (katanya) kota pantai bisa memiliki pantai yang indah, bersih, dan nyaman.

Begitu pula dengan pantai Maron. Pantai yang bisa dicapai melalui bandara A.Yani dan perumahan Graha Padma (krapyak) ini cukup ramai dikunjungi wisatawan. Kotor, kumuh, dan tidak ada apa – apa. Itulah kesan pertama saya ketika mengunjungi pantai Maron. Namun, saya heran juga mengapa banyak orang yang berkunjung ke pantai ini. Oh… mungkin karena tidak ada lagi pantai yang cukup representatif di Semarang. Mungkin. Tapi hal tersebut agaknya benar, mengingat saya sendiri juga kerepotan ketika ditanya mengenai pantai di Semarang. Sebagai warga kota Semarang, saya hanya bisa berharap semoga di kedepannya Semarang bisa memiliki ruang publik berupa pantai yang dapat menjadi ikon dari kota Semarang. Sehingga semakin banyak wisatawan yang mengunjungi kota Semarang tercinta ini.

;;